Ya, membincangkan Gie tidak bisa lepas dari gunung. Soe Hok Gie adalah salah satu warga peranakan Tionghoa yang namanya tercatat dalam lembaran sejarah nasional. Kiprahnya sebagai aktivis yang kritis terhadap Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru pada tahun 60-an membuat ia masyhur. Buku catatan hariannya berjudul Catatan Seorang Demonstran merupakan warisan bagi para mahasiswa, aktivis, dan pecinta alam.
Soe Hok Gie lahir di Jakarta pada tanggal 17 Desember 1942. Dunia aktivis dia jalani selama menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) Jurusan Sejarah (1962–1969). Selain sebagai aktivis yang selalu bersentuhan dengan isu politik, Gie juga aktivis pecinta alam. Dia termasuk inisiator organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI.
Mencitai gunung, Soe Hok Gie mati di gunung. Mahameru atau Semeru tepatnya. Gie mati dalam usia muda, sehari sebelum usianya genap 26 tahun. Itu semacam kematian yang epik. Saat itu Gie bersama kawan-kawannya melakukan pendakian ke gunung tertinggi di Jawa itu. Ia meninggal setelah terkena asap racun puncak Gunung Semeru. Satu kawannya bernama Idhan Lubis juga tewas dalam kejadian itu.
Mungkin orang menyayangkan garia nasib Gie yang mati muda. Tapi barangkali bagi Gie itu adalah sebuah kebahagiaan. Dalam buku catatannya, Gie menulis, "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua".
Apa yang diwariskan Gie bukan saja cerita romantisme pendaki gunung. Lebih dari itu, catatan-catatannya yang merupakan sikap hidupnya adalah pelajaran hidup yang memaparkan tentang idealisme seorang muda yang lurus.
Gie hidup di tengah masyarakat yang hipokrit, penuh kemunafikan--jika Gie tahu, sekarang pun keadaan masih seperti itu. Pikirannya tumbuh dan berkembang pada suasana politik yang penuh intrik, di mana kekuasaan bagai sepotong roti yang direbut-bagikan oleh kelompok-kelompok (bisa organisasi mahasiswa atau partai politik).
Dalam keadaan seperti itu, Gie bisa apa? Gie menulis, demonstrasi, dan naik gunung. Naik gunung merupakan jalan Gie untuk melihat Indonesia dari dekat.
“Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” tulis Gie.
Tapi gunung juga menjadi tempat bagi Gie untuk lepas dari hirukpikuk dunia yang penuh kemunafikan. Kata-kata Gie yang paling diingat orang, menjelaskan soal itu: "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan".
Soe Hok Gie adalah anak zaman dengan idealisme yang kuat. Dia memiliki visi tentang masa depan bangsanya. Dia punya catatan. Dia punya tindakan. (rajinpiknik.dok)
Bagikan Informasi ini untuk Mencerahkan Orang Lain:
Post a Comment